Mereka yang Merasa Mahakuasa di Dunia
Rabu, 2 Juni 2021 06:05 WIBKetika seseorang betah duduk bertahun-tahun di kursi kekuasaan, (hasrat) kekuasaanlah yang akan mengendalikan dirinya. Semakin lama, semakin sukar baginya untuk lepas dari kekuasaan. Di saat-saat sendirian, ia mungkin berpikir tentang apa yang akan terjadi pada dirinya bila ia berhenti berkuasa. Ia pun semakin cemas dan takut bila kekuasaan lepas dari tangannya.
Semakin sentral posisi seseorang, semakin besar wewenang yang dimiliki, semakin terbuka peluang orang tersebut untuk merasa dirinya paling penting, paling diperlukan, dan paling berkuasa. Kekuasaan memiliki daya pikat dan pesona yang luar biasa bagi siapapun. Bila daya pikatnya tidak luar biasa, mana mungkin orang betah duduk bertahun-tahun bahkan hingga puluhan tahun di kursi kekuasaan, sebagai pejabat publik, bos perusahaan, ataupun ketua partai politik.
Kenyamanan dan kebetahan duduk di kursi kekuasaan akhirnya membuat sebagian orang merasa sangat berkuasa di dunia ini sehingga ia merasa berhak, boleh, bisa, dan mampu memperlakukan orang lain sesuai keinginannya. Ini perkara alamiah belaka: apakah orang tersebut mampu mengendalikan kekuasaan atau justru kekuasaan yang akan mengendalikan dirinya.
Ketika seseorang betah duduk bertahun-tahun di kursi kekuasaan, (hasrat) kekuasaanlah yang akan mengendalikan dirinya. Semakin lama, semakin sukar baginya untuk lepas dari kekuasaan. Di saat-saat sendirian, ia mungkin berpikir tentang apa yang akan terjadi pada dirinya bila ia berhenti berkuasa. Ia pun semakin cemas dan takut bila kekuasaan lepas dari tangannya.
Semakin lama duduk di kursi kekuasaan, seseorang akan merasa tidak akan ada orang lain yang layak menggantikannya. Jika akhirnya ia harus memilih pengganti, ia akan memilih orang yang mampu membuat dirinya tetap aman dan nyaman. Ia tidak akan sembarangan menuruti kemauan orang lain, termasuk pendukungnya, bila tidak sesuai dengan perhitungannya. Ia merasa sebagai orang yang paling berhak menentukan nasib orang lain.
Saking merasa dirinya berkuasa, orang lain harus memiliki akses tertentu untuk dapat bertemu dengannya. Orang-orang dekatnya pun akan membangun tembok sehingga tidak mudah bagi orang luar untuk menemuinya. Orang di luar lingkaran terdekat tidak akan mudah mendekati sebab harus melewati orang-orang terdekat lebih dulu. Kekuasaan selalu membangun benteng di sekelilingnya, secara sadar dilakukan oleh pemangku kuasanya sendiri ataupun dilakukan oleh orang-orang di sekelilingnya. Orang-orang terdekat ini membangun tembok bukan untuk melindungi junjungannya, melainkan untuk melindungi kepentingan dirinya sendiri. Sebab, bila makin banyak orang mudah menemui junjungannya, lama-lama ia tersingkir karena tidak diperlukan lagi kehadirannya.
Karena merasa berkuasa, orang lain harus meminta izin darinya untuk mewujudkan impian pribadi mereka. Istilahnya malah bukan sekedar izin, melainkan restu. Misalnya, minta restu ingin jadi kepala sekolah, minta restu ingin jadi kepala pasar tradisional. Dalam kultur kita, restu menunjukkan strata kuasa dan pengaruh yang lebih tinggi, sedangkan izin lebih berkaitan dengan kewenangan administratif. Restu juga menunjukkan relasi kuasa yang timpang, tidak seimbang, yang dalam hal tertentu juga memperlihatkan keangkuhan si pemberi restu—kecuali jika restu itu dari ayah dan ibu.
Sebenarnya, orang yang merasa berkuasa itu tidak akan mampu tegak berdiri tanpa dukungan orang lain. Sayangnya, orang-orang yang menyokongnya adalah orang-orang yang juga memiliki hasrat berkuasa, punya hasrat ingin dihormati orang lain atau setidaknya ditakuti orang lain, atau menyimpan hasrat ingin memperoleh akses kepada sumberdaya ekonomi. Motif ekonomi sejak dulu telah menjadi pendorong bagi banyak orang untuk mendekati sumber kekuasaan. Pemegang kuasa pun menikmati peran seperti ini—peran didekati orang banyak, diperlukan orang banyak, dimintai restu orang banyak.
Di samping motif ekonomi, berada dekat dengan yang berkuasa kerap dipandang sebagai kemuliaan, kehormatan, keistimewaan—karena tidak banyak orang bisa berada di dalam lingkaran dekat kekuasaan. Orang-orang dekat ini juga berharap kecipratan aura dari figur sentral kekuasaan. Bagi banyak orang pula, kedekatan dengan kekuasaan juga menjadi cara untuk memperoleh kekebalan hukum. Lantaran takut kehilangan segala kemewahan itu, banyak orang melakukan apapun agar tidak terbuang dari lingkaran dekat orang yang merasa sangat berkuasa. Apapun yang diucapkan dan dilakukan junjungannya akan dibenarkan; bila di mata masyarakat junjungannya dipersepsikan keliru, ia akan memberi tafsir lain agar junjungannya dianggap benar.
Orang-orang yang merasa mahakuasa itu bukan hanya duduk di pemerintahan, tapi juga di tempat-tempat lain—partai politik, institusi hukum, parlemen, organisasi-organisasi, bahkan juga perusahaan. Dengan dukungan orang-orang sekitar beserta kewenangan yang dipunyai, sumber daya yang dimiliki, sokongan dari mereka yang berharap ikut menikmati kekuasaan, dan seterusnya, orang-orang yang merasa mahakuasa ini merasa pula tidak perlu mendengarkan suara orang di luar lingkaran terdekatnya. Ia cuekin saja suara orang-orang yang protes, sebab ia tahu bahwa pemrotes ini tidak memiliki daya kekuatan, bahkan sekedar untuk mengusiknya. Ia tahu, kalau orang banyak sudah lelah protes, mereka akhirnya diam juga.
Memang, kadang-kadang, orang-orang yang merasa mahakuasa ini menyapa orang kebanyakan agar terlihat sedikit ramah, namun selebihnya watak kekuasaan semakin melekat pada dirinya dan menutupi wajahnya yang dulu memelas ketika ia tengah merangkak ke atas. Untuk meyakinkan kebanyakan orang bahwa ia tetap layak duduk di singgasana, ia memaparkan apa yang ia sebut keberhasilan. Ia menepuk dada sekalipun orang lain sulit menemukan apa yang ia capai demi kemaslahatan orang banyak.
Di tengah gelimang kuasa itu, ia lupa bahwa suatu ketika ia akan dipanggil oleh yang benar-benar Mahakuasa [dengan M besar]—pemilik sejati segala kekuasaan di langit dan di bumi. Ia lupa bahwa akan tiba waktu bagi dirinya untuk bukan hanya bertekuk lutut, bersimpuh, bersujud dengan wajah mepet muka bumi, melainkan juga dengan menumpahkan seluruh air mata berhari-hari dan kering kerontang. Ia lupa bahwa akan tiba gilirannya pemilik sejati kekuasaan akan mendiamkan dirinya seolah tidak mengenalnya; sebab, begitulah ia telah memperlakukan sesamanya di dunia: mendiamkan, memandang remeh, dan bersikap seolah-olah pemilik sejati kekuasaan. Dalam lintasan sejarah manusia yang ribuan tahun lamanya, manusia seperti itu selalu ada, bahkan mungkin hingga akhir zaman. >>
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Hasil Survei Pilpres yang Ngeri-ngeri Sedap
Jumat, 29 Desember 2023 14:00 WIBDebat tentang Etika, Elite Politik Saling Mempermalukan
Kamis, 21 Desember 2023 12:31 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler